Ketika pertama kali mennyaksikan AI, saya terkejut dengan akhir
ceritanya yang melenceng dari prediksi saya setelah memperhatikan tiga perempat
jalinan ceritanya. Saya mengira film ini akan berakhir pada scene di mana David
membeku di dasar air, putus asa memohon pada patung yang dikiranya Peri Biru
untuk dijadikan manusia sungguhan. Saya mengira itu akan menjadi penutup AI
karena sepanjang cerita David beradaa pada posisi yang tidak menguntungkan di
tengah ketidakadilan dunia: ia di buang dari keluarga yang dulu membutuhkan
sosok anak, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana manusia
mempelakukan robot-robot yang dianggap membahayakan saat ia berada di Flesh
Fair, ia menerima kenyataan pahit bahwa dirinya tidaklah unik karena Professor
Hobby telah memproduksi ratusan unit David lain padahal ia mengira
keunikannya-lah yang membuat Monica menyanyangi dirinya. Jadi saya pikir
menutup kisah dengan membiarkan David ditelan keputusasaannya memohon pada Peri
Biru adalah satu kesimpluan yang paling memungkinkan. Tetapi ternyata saya
meleset, karena cerita masih dilanjutkan hingga 2000 tahun kemudian di mana
manusia telah musnah dan para robot atau yang dalam film ini disebut
mechanical/Mecha telah berevolusi menjadi semacam alien. Mecha yang telah
berevolusi tersebut membantu David pulang ke rumah dan bertemu Peri Biru (yang
merupakan wujud Mecha yang berevolusi juga). Setelah bertemu Peri Biru pun
keinginan David tidak terkabul begitu saja yang justru dapat menghancurkan
kesempurnaan plot cerita.
Penutup AI didesain dengan perubahan begitu drastis dibandingkan
awal filmnya yang menggambarkan optimisme dunia modern yang serba-bisa memenuhi
segala impian menjadi kisah yang penuh akan harapan, kekecewaan, dan
kehilangan, menandakan fantasi yang tidak biasa ditemui dalam dunia futuristik
dan film sci-fi lainnya. Bahkan dengan penutup sentimental seperti ini, AI bagi
sasya dapat pula digolongkan dalam fairy tale. Bagian penutup inilah yang
akhirnya membuat saya jatuh cinta pada AI, tidak pernah bosan menontonnya
berulang kali.
Selain alur cerita dengan konklusi unik, saya juga menyukai AI
karena tokoh protagonisnya yang berwujud robot, bukan manusia. Kebanyakan film
sci-fi memasang tokoh manusia sebagai tokoh protagonis sentral. Bahkan bila
makhluk selain manusia menjadi pihak yang benar, biasanya sci-fi lain akan
tetap memasang karakter “manusia baik” yang berkoalisi dengan makhluk bukan
manusia tersebut untuk melawan “manusia jahat” seperti dalam Avatar (2009).
Dengan protagonis yang berupa robot, penonton akan diajak untuk merenungi arti
kemanusiaan (humanity) dari sudut pandang yang justru bukan dari tokoh manusia.
Kondisi ini pada akhirnya menempatkan David, sang robot anak menjadi tokoh yang
ironisnya paling manusiawi dibandingkan tokoh-tokoh lainnya dalam film ini.
Membicarakan sci-fi tentu tidak lengkap tanpa membahas bumbu utama
film jenis ini, efek visual. Keptusan Kubrick untuk tidak memulai proses
produksi sebelum teknologi perfilman siap menangani efek visual canggih
taernyata sangat tepat, karena sepbagaimana penonton bisa lihat sendiri hasil
green computer animation yang menakjubkan dan makeup yang mampu membuat
tampilan Jude Law layaknya Astroboy. Perhatikan juga robot-robot cacat dengan
berbagai bagian tubuh yang hancur dan tak lengkap yang digambarkan secara
nyata. Ada robot wanita yang tidak memiliki rahang, robot yang tidak memiliki
tangan kemudian menyambungkan tangan dari robot lain, helikopter, mobil, kapal
selam futuristik, Rouge City, semuanya melengkapi dan menguatkan kesan high
tech.