Kamis, 26 November 2015

Artificial Intelligence (A.I)


Ketika pertama kali mennyaksikan AI, saya terkejut dengan akhir ceritanya yang melenceng dari prediksi saya setelah memperhatikan tiga perempat jalinan ceritanya. Saya mengira film ini akan berakhir pada scene di mana David membeku di dasar air, putus asa memohon pada patung yang dikiranya Peri Biru untuk dijadikan manusia sungguhan. Saya mengira itu akan menjadi penutup AI karena sepanjang cerita David beradaa pada posisi yang tidak menguntungkan di tengah ketidakadilan dunia: ia di buang dari keluarga yang dulu membutuhkan sosok anak, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana manusia mempelakukan robot-robot yang dianggap membahayakan saat ia berada di Flesh Fair, ia menerima kenyataan pahit bahwa dirinya tidaklah unik karena Professor Hobby telah memproduksi ratusan unit David lain padahal ia mengira keunikannya-lah yang membuat Monica menyanyangi dirinya. Jadi saya pikir menutup kisah dengan membiarkan David ditelan keputusasaannya memohon pada Peri Biru adalah satu kesimpluan yang paling memungkinkan. Tetapi ternyata saya meleset, karena cerita masih dilanjutkan hingga 2000 tahun kemudian di mana manusia telah musnah dan para robot atau yang dalam film ini disebut mechanical/Mecha telah berevolusi menjadi semacam alien. Mecha yang telah berevolusi tersebut membantu David pulang ke rumah dan bertemu Peri Biru (yang merupakan wujud Mecha yang berevolusi juga). Setelah bertemu Peri Biru pun keinginan David tidak terkabul begitu saja yang justru dapat menghancurkan kesempurnaan plot cerita.


Penutup AI didesain dengan perubahan begitu drastis dibandingkan awal filmnya yang menggambarkan optimisme dunia modern yang serba-bisa memenuhi segala impian menjadi kisah yang penuh akan harapan, kekecewaan, dan kehilangan, menandakan fantasi yang tidak biasa ditemui dalam dunia futuristik dan film sci-fi lainnya. Bahkan dengan penutup sentimental seperti ini, AI bagi sasya dapat pula digolongkan dalam fairy tale. Bagian penutup inilah yang akhirnya membuat saya jatuh cinta pada AI, tidak pernah bosan menontonnya berulang kali.

Selain alur cerita dengan konklusi unik, saya juga menyukai AI karena tokoh protagonisnya yang berwujud robot, bukan manusia. Kebanyakan film sci-fi memasang tokoh manusia sebagai tokoh protagonis sentral. Bahkan bila makhluk selain manusia menjadi pihak yang benar, biasanya sci-fi lain akan tetap memasang karakter “manusia baik” yang berkoalisi dengan makhluk bukan manusia tersebut untuk melawan “manusia jahat” seperti dalam Avatar (2009). Dengan protagonis yang berupa robot, penonton akan diajak untuk merenungi arti kemanusiaan (humanity) dari sudut pandang yang justru bukan dari tokoh manusia. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan David, sang robot anak menjadi tokoh yang ironisnya paling manusiawi dibandingkan tokoh-tokoh lainnya dalam film ini.


Membicarakan sci-fi tentu tidak lengkap tanpa membahas bumbu utama film jenis ini, efek visual. Keptusan Kubrick untuk tidak memulai proses produksi sebelum teknologi perfilman siap menangani efek visual canggih taernyata sangat tepat, karena sepbagaimana penonton bisa lihat sendiri hasil green computer animation yang menakjubkan dan makeup yang mampu membuat tampilan Jude Law layaknya Astroboy. Perhatikan juga robot-robot cacat dengan berbagai bagian tubuh yang hancur dan tak lengkap yang digambarkan secara nyata. Ada robot wanita yang tidak memiliki rahang, robot yang tidak memiliki tangan kemudian menyambungkan tangan dari robot lain, helikopter, mobil, kapal selam futuristik, Rouge City, semuanya melengkapi dan menguatkan kesan high tech.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar